Eunoia: Tana Humba I
Aku Eunoia Kalokagathia, kamu bisa panggil aku noi.
Debur suara
ombak ikut mengiringi akhir hari ini, penutup yang sempurna untuk mengakhiri
hari istimewa.
Selamat ya, udah bertahan sampai
sekarang. Setelah ini pasti makin banyak hal yang menarik kedepannya. Layaknya
setiap hati yang sering khawatir dengan apa yang belum terjadi, aku juga
seperti itu. Tapi hari ini, hatiku siap kembali mengarungi hari-hari
kedepannya. Berawal dari Sumba, kakiku akan melangkah lebih jauh, mataku akan
menatap lebih luas, hatiku akan berusaha lebih keras. Sebentar lagi aku akan
memulai mimpiku, aku bakal jalan-jalan keliling Indonesia, aku lagi sibuk
mencari apa yang bahkan aku gak tau apa itu. Mulai saat ini aku akan melangkah
sendiri, sesuai apa kata hatiku.
Tapi juga tidak sepenuhnya sendiri,
beberapa hari kedepan aku bersama Sani, tour guideku selama di Sumba.
“Kakak noi, mari
kita kembali ke penginapan untuk makan malam” logat khas dataran tanah humba
cukup melekat pada Sani, laki-laki kelahiran Bandung yang sudah 28 tahun hidup
disini.
“Oke bang, saya
ambil beberapa foto lagi bentar ya. 5 menit lagi saya ke mobil”
Pantai Walakiri sudah membuatku jatuh
cinta bahkan bertahun-tahun sebelum berkesempatan bertemunya. Bagiku, Walakiri
adalah pantai terindah yang bisa aku bayangkan. Butiran pasir berwarna putih
gading yang dihiasi jajaran pohon kelapa, pohon-pohon mangrove di ujung bibir
pantai, dan matahari yang mulai sayup-sayup terbenam di kaki langit.
Layaknya laut yang tak pernah tenang,
kehidupan juga seperti itu. Dalam kedalaman yang tak sanggup diungkapkan di
permukaan, ada banyak kekurangan yang teralihkan keindahan. Bagaimana cara mengarunginya,
menikmati setiap deburnya, akan membuat hidup ini lebih menyenangkan. Selamat
ulang tahun noi, saatnya kita melangkah lagi.
Comments
Post a Comment