Maaf, Sungguh
Aku menatap bintang, yang sebagian disimpan langit dan beberapa ada dalam kelam matamu. Aku mengambilnya sedikit untuk satu judul cerita yang tak pernah usai. Buku itu tak pernah terbit, karena aku masih membutuhkanmu untuk menggenapkan halaman yang terus ganjil. Tapi kau tak pernah lagi hadir.
Akupun
termangun, mencari cara agar kita tetap bisa bersama. Kata orang cara terbaik
mencintai seseorang adalah dengan mendoakan. Itu cara klasik memberi perhatian
tanpa kelihatan. Cara rendah hati, menjaga yang belum sempat termiliki. Apakah
ini cara yang aku cari? Apakah ini celah untukku terus menjaga hati?
Tiap melihat
hal-hal baik, aku harap harimu juga baik. Waktu melihat hal buruk, aku harap
hal itu tidak menimpamu. Tiap aku ingin berbuat sesuatu tapi aku tak mampu, aku
memilih berdoa agar kita bisa bersatu.
Perlahan-lahan,
kenyataan hadir membawa aku tersadar. Ternyata doa yang ku panjatkan, bukan
hal-hal yang kamu harapkan. Karena aku tak pernah menjadi satu bagian yang kamu
inginkan. Maka dari itu aku tak sempat tahu apa yang kamu mau, apa yang kamu
butuh, dan kemudian aku menjadi begitu egois. Aku bahkan tak bisa membedakan
apakah aku memang benar atau aku hanya membenar-benarkan yang aku lakukan.
Comments
Post a Comment