Menyelami Luka Lama: Paket

Kelanjutan Cerita Kota Apel

Sabtu itu kala matahari terik-teriknya menusuk ubun-ubun, Zara sedang menikmati jus tomat dan wortel dimeja kerjanya yang ada didekat salah satu mall besar Kota Surabaya. Hari ini toko kue miliknya tutup, namun Zara sengaja menyibukkan dirinya memeriksa laporan kantor yang baru saja masuk emailnya, mencoba resep baru bersama salah satu rekan kerjanya, dan ia perlu sesuatu untuk mengalihkan pikirannya.

Pukul 4 sore ketika Zara hendak kembali pulang menuju apartemennya, paket map coklat terselip dibagian depan kaca mobilnya. Tanpa rasa curiga, Zara mengambil map itu dan melaju menuju apartemen, seakan ini bukan hal aneh baginya.

“Sa, kembali ada yang mengirimiku paket.” Setelah membuka isi map coklat yang tadi terselip di kaca mobilnya, dengan sigap Zara menelfon sahabatnya, Visa.

Oktober tahun lalu, secara misterius Zara mendapat paket berisi hadiah setiap harinya. Bunga, kue, puisi, pakaian, tanpa diketahui siapa pengirimnya. Bersama Habi, Zara mencoba mencari-cari dan mencoba menyelesaikan teka-teki paket misterius itu. Akhir tahun, mereka mendapat titik terang. Namun, disaat yang sama, paket itu berhenti datang.

“Zara sekarang tenang dulu, minum” ditelfon Visa berusaha menenangkan Zara.

“Kali ini paketnya bukan berisi hadiah, tapi foto dan surat.” Suara Zara patah-patah, dia benar-benar ketakutan.

“Visa kesana sekarang, Zara tenang dulu.” Diujung kalimat tersebut, Visa menutup telfon.

Zara mengambil minum, menenggelamkan mata lamat-lamat pada foto tersebut. Kemudian menatap keluar jendela apartemennya yang langsung menghadap matahari yang terbenam disambut lampu-lampu kota yang mulai berkelip. Di kota ini, bandara kota ini, tiga tahun lalu ia menghadapi perpisahan yang amat dalam. Dengan pujaan hatinya, keluarganya, masa lalunya, dirinya.

“Assalamualaikum, maaf ya lama, macet banget” Zara menghampirinya. Kemudian Visa memeluk Zara diujung pintu

“Waalaikumsalam, Ingat Sa?” melepas pelukan Visa, Zara menutup pintu yang dari tadi ia biarkan terbuka sambil menyerahkan sebuah foto

“Zandi” jawaban singkat dari Visa bagai menepuk hati Zara kuat-kuat, raut mukanya berubah, pucat pasi, Zara terlihat lemas.

“Aku masih ingat saat-saat kamu menceritakan tentang dia, saat kamu dekat begitu lama, hingga saat kalian berpacaran. Dimana kamu pernah berjuang begitu keras menghadapi setiap masalah yang kalian dapat, saat kita masih bersama Ratna.” Visa menepuk-nepuk pundak Zara sambil berjalan menuju sofa

“itu dulu” Zara menjawab pelan hampir tak dengar.

“Kamu tidak bisa melupakan semuanya Zara, kamu perlu mengiklaskannya” Visa mencoba menenangkan Zara, ia tau persis apa yang terjadi

Visa adalah sahabat Zara sejak SMA, mereka begitu dekat bagai pinang dibelah dua, tidak sama sempurna tapi mereka kenal setiap lekuknya. 

“Apa mungkin yang selama ini melakukannya adalah dia? Lalu kali ini dia mengirim foto ini sebagai petunjuk bahwa memang dia yang mengirim?”  Zara masih terdiam, kini wajahnya merah padam

“Bukankah kabarnya dia akan melangsungkan lamaran pada akhir tahun ini” Visa menerka-nerka

“Temui aku saat tahun baru, itu isi surat ini, yang datang bersama foto itu” Zara akhirnya menjawab, dia terdengar sinis saat mengatakannya sembari memberi sepucuk surat

“Jelas ini Zara, dia yang mengirimimu hadiah setiap hari selama 3 bulan satu tahun yang lalu dan juga yang mengirim ini semua” Visa menjawab

“Untuk apa Sa? Apa tidak cukup semua yang telah dia lakukan padaku? Aku sudah mengikhlaskannya pergi, kini dia mau menikah aku tidak peduli lagi dengannya.” Zara yang tadinya terdiam lemas kini hadir dengan amarah

“Jawabannya hanya bisa kamu tau saat bertemunya, tahun baru, tepat saat acara reuni SMA kita. Kamu sudah menghubungi Habi?” Visa tetap tenang, karna itu yang diperlukan untuk menghadapi Zara.

Zara mengangguk.

“Zara, apa kamu sungguh-sungguh dengan perkataanmu yang sudah mengiklaskannya?” Pertanyaan Visa kali ini sontak membuat Zara menatap ke arahnya

“Dia mantanku, melihatnya lamaran atau bahkan menikah dengan orang lain sudah tidak berarti apa-apa. Sungguh bukan itu yang membuatku risau” Zara menjawab dengan nada datar, tak ada kemarahan ataupun kesedihan pada tiap katanya.

Visa hanya tersenyum, dia sangat mengenali sahabatnya itu.

Comments

Popular Posts