Lika-liku laki-laki

Bagaimana rasanya mendengarkan cerita dia yang kamu cinta, tentang dia yang dia cinta?

Seperti ini rasanya ...

Tapi sebelum semua berjalan lebih lanjut, jika kamu membaca, jangan salah paham, mengertilah, bahwa aku sudah tak menanti, tak usah kembali.

Assalamualaikum senja, bagaimana kabarmu? Bunda sehat? Adikmu masuk SMA mana? Aku lihat sekarang kamu berkerudung, Alhamdulillah. Terimakasih untuk siapapun sekarang yang menjadi pendampingmu, yang menuntunmu menjadi sesempurna itu. Aku jadi ingat saat kita berjalan-jalan di lantai satu mall sarinah, usai menonton film kartun anak-anak, kamu bilang ingin kerudung warna biru tua dengan motif bunga-bunga. Maaf ya, aku tak punya uang untuk membelikanmu kala itu.

Oiya jika kamu kepikiran, kabarku baik-baik saja. Laki-laki keras kepala yang bertahan mencintaimu 6 tahun lamanya ini telah berhasil membuka bengkel mobil impiannya.

Selain bengkel, aku juga berhasil membeli hp baru, dulu kamu sering mengomeliku karena hp yang aku miliki tidak bisa untuk videocall. Sekarang hpku sudah bisa videocall, tapi kamu yang tidak bisa.

Hp baru membuat grup line yang aku buat dulu jadi hilang karena tidak bisa dibackup ke hp yang baru. Tapi tidak apa-apa tidak perlu apapun untuk membantuku mengingat perjuanganku menantimu, setiap detailnya masih rapi dalam ingatanku.

Senja, kenapa akhir-akhir ini sering sekali kamu membalas cuapan-cuapanku di twitter? Aku sudah cukup dewasa untuk tidak terlena sebatas karena itu saja, hanya apa memang cinta datang terlambat itu memang ada?

Sabtu, 9 Maret 2019. Tepat satu tahun sejak aku memilih melepasmu. Berawal dari kala itu aku sedang penelitian di luar kota bersama dua rekanku. Rekan perempuan luar biasa, saksi dari pilihan yang akhirnya dibuat oleh seseorang yang kehabisan cara menunjukan kesungguhan rasa cintanya. 

Dalam bis malam, dengan riuh penumpang rekan penelitian. Tubuhku kedinginan disini, tapi pikiranku melayang entah kemana. Bujukan dua rekanku tidak membuatku bergeming menceritakan isi hatiku, aku memilih diam. 

“Bukannya memang laki-laki selalu seperti itu? Terlalu keras kepala dan gengsi bahkan hanya untuk sekedar bercerita. Tidak dapat menyelesaikan tapi merasa selalu ingin jadi panutan.”

Sindiran rekanku tidak membuatku tersinggung, malah membuatku membuka kata. Akupun mulai menceritakan kepada mereka, tentangmu, Senja.

Aku berasal dari satu daerah yang terkenal dengan hasil lautnya, perkampungan nelayan bukanlah suatu tempat yang menjanjikan. Bersyukur aku masih menjadi bagian keluarga yang berkecukupan, karena jika tidak, aku tidak akan menginjakan kakiku di sekolah itu, tempatku bersahabat denganmu.

Senja, gadis yang menyenangkan, menghanyutkan. Sekolah menengah pertama menjadi awal aku berkenalan dengannya, singkat cerita, banyak tawa, canda, duka, hingga cinta.

Kami memilih berteman, usia kita masih dini, apalah cinta aku tak mau mengenalnya. Tapi aku hanyalah manusia biasa, kadang urusan jatuh cinta bukan aku sendiri yang mengatur jalannya. Aku tidak pernah merencanakan untuk cinta pada sahabatku sendiri, pada orang yang mencintai orang lain, pada orang yang tak membalas cintaku.

Senja memiliki seorang pacar, laki-laki pilihannya. Bukan pilihan pertamanya. Cinta pertamanya saat kelas satu SMA, beruntung mereka bersama hingga awal perkuliahan.

Aku masih ingat, saat pertama kali Senja pergi jalan-jalan dengan pacarnya, dia memintaku yang laki-laki ini untuk mengobrak-abrik almarinya dan mencari baju yang tepat. Katanya jika menurutku bagus mungkin menurut pacarnya juga bagus. Senja bahkan mentraktirku mie ayam dan es jeruk didekat sekolah hanya karena saran pakaian yang aku pilih, disukai oleh pacarnya.

Kemudian, saat ulang tahun pacarnya. Jauh-jauh aku mengantarnya ke kota hanya untuk membeli kado. Berjalan dibawah terik matahari, berpindah-pindah angkutan umum, hingga memecah uang tabunganku hanya untuk membawamu ke tukang urut karena kakimu terkilir akibat kecerobohanmu, jatuh saat turun dari angkutan umum. Aku terlalu gengsi untuk menerima uang ganti dari bundamu. Mengingat itu selalu membuatku tersenyum, apapun itu kenyataan dibaliknya.

Kamu juga sering main ke rumahku, membicarakan resep-resep masakan dengan ibuku, membicarakan jurusan perkuliahan dengan kakakku, atau menangis tersedu tentang hubunganmu. Saat-saat aku sampai harus begadang untuk mengganti waktu belajarku, menolak ajakan futsal hanya untuk menemanimu. Sampai aku heran, kenapa pacarmu tak punya waktu untukmu sebanyak aku?

Hingga, pada awal perkuliahan saat akhirnya kamu tau, hubunganmu harus berakhir. Orangtua pacarmu tak setuju. Tapi saat itu kamu sudah bisa menyikapi dengan bijak, tidak menangis ingusan seperti 4 tahun terakhir kamu mendatangiku ketika kamu ada masalah. Saat itu memang ada duka dimatamu tapi tidak ada tangis.

Saat itu aku berpikir bagaimana rasanya telah menjalin hubungan tak singkat, lalu orangtua tidak memberi restu. Apakah rasanya seperti yang aku rasakan? Atau lebih sakit? Bagaimanapun itu yang melaluinya adalah seseorang yang kuat.

Awalnya aku bersikap biasa saja, aku tidak mau terkesan memanfaatkan keadaan. Meski aku sudah tidak sabar karena 4 tahun rasa terpendamku dapat kesempatan diungkapkan.

Tapi, aku juga tak berani, aku takut merusak kebersamaan kita. Kamu baru saja kehilangan pacarmu, aku takut kamu harus terpaksa kehilangan sahabatmu, seperti kebanyakan cerita tentang cinta dalam persahabatan. 

Maka aku memilih diam, aku menunggu 4 tahun lamanya dan aku berhasil. Tidak akan menjadi masalah menunggu sebentar lagi.

Sejak saat itu kamu lebih sering mengikuti acara di kampus. Meski kita kuliah di kampus berbeda, kabarmu masih sering aku dengar. Juga saat kamu terpilih menjadi perwakilan kampusmu di ajang internasional. Kamu membawakanku banyak barang sebagai oleh-oleh. Meski yang aku ingin hanya senyummu.

Kemudian aku mendengar kabarmu jatuh sakit, bunda langsung mengabariku, hal ini yang mengganggu pikiranku dikala penelitian di luar kota ini. Maaf aku tidak bisa ada disana, aku tau satu tahun terakhir kamu berusaha keras menyibukan diri untuk mengalihkan perhatianmu dari masa lalu. Maaf aku tidak ada untukmu, disaat-saat harusnya sahabatmu ini mendampingimu.

“Kamu masih mencintainya?”

Usai aku bercerita, rekanku langsung tanpa basa-basi melontarkan sebuah tanya.

Apapun itu 5 tahun aku menunggunya, menghadapi segala perasaan itu, aku masih mencintainya.

Bahkan aku membuat satu grup line, dimana isinya ada beberapa orang yang kemudian aku kick dan tersisa aku saja. Sengaja agar terdapat satu room grup. Grup itu berisi foto-foto Senja, sejak dia kecil, ayahnya telah meninggalkannya sejak SMA, lalu dia di asuh bundanya. Dan dari bundanya aku mendapat foto masa kecilnya. Juga foto-foto spontan yang aku dapat ketika kita melakukan apapun bersama. Dan sepatah duapatah kata dalam 5 tahun terakhir yang tak pernah sempat aku sampaikan.

Suatu saat aku akan memasukannya dalam grup itu dan mengutarakan perasaanku selama ini.

“Lakukanlah, apa yang kamu tunggu? Memang tidak setiap rasa harus dibalas, tapi berhak diungkapkan”

Beberapa kalimat dari dua rekan perempuanku yang menggerakkan hatiku untuk akhirnya memasukanmu digrup line itu beberapa hari setelah kesembuhanmu. Beberapa hari sebelum kamu hilang tanpa kabar.

Aku tidak menyalahkan siapapun untuk kejadian itu, aku merasa lega berani mengungkapkan perasaan yang tertahan 5 tahun lamanya.

Hingga, aku tau dari temanmu bahwa kamu telah memiliki pacar yang baru. Dan kamu benar-benar menarik diri dariku.

Entah apa aku terlalu terburu-buru menyimpulkan atau tidak. Tapi, sepertinya kamu tidak pernah terpikir rasa sepertiku. Senja tak pernah mencintaiku. Meski aku tetap bertahan mencintainya.

Enam tahun berlalu, aku masih mencintainya. Menjadi keras kepala yang tau bahwa dia tak pernah menganggap cintaku, tapi aku mencintainya seperti tiada akhir.

Hari-hari berlalu, aku tetap melangkah pasti, mengihidupkan mimpi-mimpiku. Aku tau, dunia tak akan berhenti meskipun kita sangat menginginkannya. 

Senja, maaf aku melangkah. Aku tak lagi berada pada titik dimana aku menunggumu begitu lama. Mungkin nanti kamu akan dikenal sebagai orang yang menyia-nyiakan seseorang sepertiku. Tapi aku baik-baik saja. Aku pernah mendampingimu bahagia dengan yang lain, tak masalah kembali melakukannya. Aku tak pernah terluka melihatmu bahagia.

Oiya, maaf aku tidak bisa membalas mentionmu di twitter sering-sering. Aku juga tidak tau apa bisa mendampingimu jalan-jalan saat kamu main ke kotaku bulan ini seperti ajakanmu.

Berbanggalah dengan kebahagiaanmu karena bisa bersama dengan pilihan hatimu, seperti yang aku lakukan.

Aku bangga dengan kemenangan yang berhasil aku ciptakan dari keberanianku melepasmu.


-Dari aku, yang pernah merencanakan rumah sederhana seatap denganmu.

Comments

Popular Posts