Dari Senja

Aku rindu.

Selamat malam kamu yang jauh di riau. Aku membaca kisahmu yang pada dasarnya hampir semua aku sudah tau.

Kabarku baik, bunda sehat. Adikku masuk SMK bukan SMA. Alhamdulillah aku sekarang berkerudung, mas syahman kepada dia mungkin rasa terimakasihmu akan tertuju.

Selamat ya atas pembukaan bengkelmu, aku tau dari adikku yang tak sengaja bersekolah didekat bengkelmu. Bengkel itu lebih luas dan lebih besar dari yang pernah kamu rencanakan. Semoga lancar selalu ya. Untuk hp kamu rawat baik-baik ya, aku masih ingat dulu kenapa kamu tidak membeli hp mahal yang bisa untuk videocall karena kamu sering merusakkan hp, maka dari itu kamu memilih yang biasa saja, asal bisa digunakan.

Wimara, aku masih ingat pertama kali kamu duduk dibangku sebelahku saat sekolah menengah pertama. Kamu menenteng kantong plastik, berpakaian rapi, memakai topi berwarna hijau gelap, sepatumu tidak ditali sebelah waktu itu.

Setiap pagi kamu membawa satu kantong plastik susu kedelai dan koran. Aku suka sinis ketika kamu sok dewasa pagi-pagi membaca koran, tapi kamu tidak peduli, dari sana kamu selalu update berita di kota. Lalu juga setiap kali makan siang, kamu mengambil lauk makan siangku, kamu menghemat uang demi mimpimu membuka bengkel di kota, menabung. 

Aku masih ingat, saat setiap anak dikelas menertawakanku saat presentasi motivasi karena cita-citaku sebagai presiden, kamu tersenyum dan mengatakan bahwa aku pasti bisa.

Kamu sangat baik, sering menemaniku menunggu bunda menjemput dengan alasan kamu juga menunggu dijemput, meskipun aku tau setelah bunda datang, kamu lari-lari mencari angkutan umum karena jika terlampau sore maka angkutan umum ke rumahmu tidak ada.

Kita semakin dekat ketika kamu sering bertemu bunda saat menjemputku, kamu suka main ke rumahku, menggoda adikku, soto masakan bundakku adalah kesukaanmu. Aku juga sering bermain ke rumahmu, menyenangkan ada seorang kakak dirumah. 

Lalu, kita berada di SMA yang sama. Meski aku tidak terkejut karena memang kita sengaja merencanakannya. Berbeda dengan waktu SMP, dimana kamu tiba-tiba duduk dibangku sebelahku hanya karena itu bangku yang tersisa, kali ini kita memang berencana duduk bersama.

Aku sudah suka padamu sejak pertama kita berjumpa dibangku sekolah menengah pertama. Tapi, aku yakin pada diriku pasti itu hanya cinta monyet, tidak sungguh-sungguh.

Tapi, kenapa rasa itu bertahan begitu lama hingga kita menginjak SMA? Empat tahun, aku memaksa pada diriku bahwa aku tidak jatuh cinta.

Aku suka melihat kita bersama, melihatmu yang penuh perjuangan menemaniku, melakukan hal bersama-sama denganku, merencanakan masa depan bersamaku.

Aku tidak mau itu berubah.

Kamu pemarah, aku sering menangis sendiri ketika kamu tak sengaja membentakku. Kamu keras kepala, mimpiku besar tapi kamu ingin pasangan penurut yang kerjanya dirumah saja. Kamu baik sebagai sahabat tapi tidak sebagai pasangan. Saat ayahku pergi dan aku butuh teman bicara, kamu malah sibuk dengan bengkelmu yang dulu. Bagaimana jika aku terus bersedih karena memaklumi sifat pemarahmu? Bagaimana aku merelakan mimpi besarku? Bagaimana jika nanti aku membutuhkanmu saat ada hal penting bagimu? Mungkin terlalu cepat aku simpulkan. Tapi, aku takut tidak bahagia.

Aku memilih menyudahi semua itu, aku melupakan rasaku padamu dengan membangun perasaan yang baru dengan orang yang aku pilih menjadi pacarku. Bukan dia cinta pertamaku, kamu, Wimara.

Empat tahun mungkin lebih singkat darimu, tapi aku lebih dulu. Aku bukannya tidak membalas cintamu, hanya saja waktu kita tidak tepat. Aku menyadari untuk menyudahi disaat kamu menyadari untuk memulai.

Aku suka padamu saat kamu menjadi sahabatku, aku mau itu tetap seperti itu.

Sejak aku tau kamu mulai suka padaku, aku hanya takut kamu mengungkapkannya, aku tidak siap harus berkata apa.

Namun, cepat atau lambat saat itu tiba. Aku menjauh, saat itu aku sedang kalut. Aku tidak sakit karena terlalu lelah mencoba melupakan masa laluku. Aku sakit karena mencoba menerima masa depanku. Aku dijodohkan, itu permintaan ayah sebelum ayah pergi. Tidak apa, aku tidak mau membahas lebih jauh tentang itu.

Maaf, jika seringnya aku membalas twittermu mengganggumu, aku hanya mau membina kembali persahabatan kita, yang sengaja aku renggangkan agar kamu memiliki ruang untuk memberi jawaban pada hatimu.

Bulan ini aku ke kotamu untuk memberi surat undangan pernikahanku. Mas syahman, pilihan orang tuaku, yang membuatku merasa pilihan orang tua memang terbaik. Dia mengingatkanku pada kebaikanmu.

Wimara, maaf jika aku tidak membalas rasamu padaku. Terimakasih karena pernah mencintaiku selama itu.

Semoga nanti ketika kita telah saling mengikhlaskan, kita akan saling mengunjungi sebagai seorang sahabat.



Comments

Popular Posts