Menyelami luka lama: Zandi II

Kelanjutan Cerita Menyelami Luka Lama: Zandi

Sering kali sudut hati ini tiba-tiba bertanya pada semilir angin. Akankah sebuah perpisahan selalu menyakitkan? Apakah juga berlaku untuk perpisahan dengan orang yang melukai hatimu berulang-ulang? Setiap luka akan mengering, setiap kesalahan akan termaafkan, setiap waktu akan terlewatkan, tapi akankah bekasnya hilang? Cukup! Tidak lagi ada pertanyaan. Rasa rindu terhadap ketidaktahuan datang. Kadang, tidak mengetahui apa-apa dapat membuat diri merasa lebih bahagia. Saat ribuan pertanyaan yang kau lontarkan tak kau temukan jawabannya tapi kau tau bagaimana menguburnya dalam diam.

Setiap kali kita terluka, akan ada pilihan antara mengobati luka itu sendiri atau menemukan orang pengganti yang mengobati. Kita selalu berusaha keras mencoba menyembuhkan luka itu sendiri, berharap luka itu tak akan merugikan siapapun yang nantinya datang dimasa depan, menjadi pelajaran. Tapi, terlambat. Hati selalu terjatuh begitu cepat. Kesalahan akan tetap menjadi kesalahan jika kita tidak belajar dari itu. Tapi, kesalahan akan jadi pelajaran jika kita belajar dari itu.

Pikiran itu terus menggerogoti otak Zara, ketakutan itu. Bahwa jika ia biarkan luka yang masih ia bawa belum sembuh, kesalahan yang ia perbuat belum menjadi pelajaran, ia akan mengecewakan orang baru yang masuk ke dalam hatinya, ia akan menjadi luka baru untuknya. 

“Tidak akan ada seorangpun yang kecewa Zara, tidak akan ada seorangpun yang terluka, bagi orang yang ingin membahagiakanmu, walaupun ia sampai kehabisan cara mengungkapkan rasa cintanya karna keterlambatanmu merasakannya” kalimat lembut Zandi meruntuhkan air mata Zara

“Karena ketika seseorang tulus mencintaimu, ia akan melakukan banyak hal untuk membahagiakanmu. Karena cintanya padamu, bukan karena memikirkan apa yang akan ia dapat ketika memilih mencintaimmu” Zandi mengucapkannya dengan tenang, tanpa keraguan
•••
“Tidak perlu mengantarku pulang setiap hari, Zandi. Arah rumah kita berlawanan” Zara merapikan rambutnya yang diterpa angin selama dimotor

“Kalau begitu berarti aku harus menunggumu sepulang sekolah sampai ayahmu menjemput” 

“Tidak, itu juga tidak perlu”

“Aku tidak merasa keberatan, aku malah senang melakukannya. Pilhlah salah satu”

 “Baiklah, besok aku bawa helm” Zara tersenyum

Sudah satu minggu sejak mereka resmi berpacaran. Rintik hujan yang membasahi tanah saat itu rasanya masih tercium baunya. Kalimat-kalimat sederhana layaknya setiap laki-laki mengutarakan cinta. Sungguh, masa remaja yang bahagia.

Zandi tidak terlalu pandai bergurau, tapi sangat pandai bersabar. Hampir setiap hari ia mengantar Zara pulang, bahkan ketika harus menunggu Zara kursus memasak, atau saat Zara harus tambahan belajar karna ia murid unggulan. Saat-saat itu juga setiap jam istirahat, mereka akan makan bekal bersama. Sesekali Zara akan membekalkan Zandi resep-resep kue atau masakan dari hasil kursus masaknya. 
•••
 “Zara, minggu depan aku akan menonton konser di Surabaya bersama Leli. Apakah kamu keberatan?”

“Pergi saja, maaf aku tidak bisa ikut, aku kurang suka” jawa Zara singkat, sambil terus menyibukkan diri menjawab latihan soal. Besok ada ujian kenaikan kelas

Banyak hal antara Zandi dan Zara yang tidak satu selera, sehingga mereka terkadang perlu menghabiskan waktu dengan orang lain untuk hal itu. Ini bukan pertamakalinya Zandi ijin untuk bermain bersama teman-temannya. Itulah Zandi, sesepele apapun ia tau bagaimana cara membuat Zara tidak khawatir, membuat Zara percaya.

Zandi tahu, pengalaman cinta Zara tidak berjalan mulus. Selalu berakhir dengan tragis. Sudah lima kali Zara mencoba belajar tentang cinta. Cinta yang rumit, yang semakin kita pelajari lebih dalam, semakin banyak luka yang didapatkan. Yang pertama yang paling memilukan kata Zara. Ketika berpisah tidak hanya membuatnya kehilangan kekasih namun juga sahabatnya. Nial, sahabat Zara yang membuatnya suka memasak, cinta pertamanya. Zara masih ingat betul ketika hari dimana Nial mengutarakan cintanya sama persis dengan hari dimana Indonesia bertambah umur. Dan satu tahun satu bulan satu hari kemudian, Nial pergi tanpa jejak, tanpa sepatah katapun pada Zara. Kemudian, Iman, Nendra, Nurdin, dan Nara yang keempatnya berakhir karena ada hubungan dengan perempuan lain. Entah apa yang salah pada Zara, wajahnya cantik, pintar, jauh dari kata sombong, ia juga pandai memasak. Mungkin sifatnya yang sedikit pemarah dan penakut membuat ia selalu tidak beruntung dalam pelajaran percintaan.

“Zara, bulan depan nenekku akan datang. Mama menyuruhku mengajakmu ke rumah”

“Kenapa?” Zara menjawab dengan tenang

“Ada papa juga”

“Zara belum mau menikah Zan” Jawabannya kini membuat Zandi cekikikan

“Kamu hanya diundang kerumahku Zar, belum dilamar” Zandi mengusap-usap rambut Zara yang panjang menjuntai

“Aku takut Zan, bagaimana jika mereka tidak menyukaiku?”

“Mereka akan menyukaimu Zar, seperti sejak pertamakali aku bertemu denganmu” jawaban Zandi membuat Zara tersenyum “Aku pamit pulang ya”

Zara hanya mengangguk, kemudian mengantar Zandi keluar rumah setelah berpamian pada ayah dan mamanya.

“Hallo Sa” Zara menelfon sahabatnya

“Assalamualaikum, hallo. Ada apa Zar?”

“Waalaikumsalam. Bagaimana rasanya pertamakali datang ke rumah pacarmu Sa?”

“Sama seperti setiap saat ada pelajaran bu Icha, tegang”

“Kalau begitu aku tidak mau ke rumah Zandi”

Visa tertawa diujung telfon

“Kenapa kamu tertawa Sa?”

“Kamu bodoh Zar, tentu saja menyenangkan, mengenal keluarganya”

“Aku tidak pernah memikirkan sejauh itu Sa”

“Tidak perlu kamu pikirkan, kamu akan melakukannya”

Comments

Popular Posts